Dalam urusan mode, Jepang punya banyak keunggulan. Masyarakat
Jepang pintar tampil menarik dengan gaya busana baik pakaian
wanita dan pria yang tak lazim. Salah satu gaya paling terkenal
yang diusung Jepang adalah gayaharajuku, yang mengusung konsep padu padan
busana pakaian waniata dengan warna berbeda. Kini, mode harajuku telah populer
seantero dunia. Bahkan, selebriti Hollywood seperti penyanyi pop, Gwen Stefani
(mantan vokalis No Doubt), senantiasa tampil menarik
dengan gaya harajuku ketika di atas panggung. Gaya harajuku tidak
sama dengan gaya kawaii yang terlihat cute, atau gothic lolita dan cosplay,
yang mengusung desain dengan karakter anime dan manga, tokoh kartun Jepang di
film dan komik favorit. Walaupun tidak ada aturan ketat, namun Anda tetap harus
mengetahui rumus berpakaian ala harajuku. Yaitu busana yang dipakai
berlapis-lapis, penggunaan warna material bahan yang berbeda (tabrak warna) dan
cerah, hiasan aksesori yang berlebih pada tas, ikat kepala, dan anting-anting
mewah. Selain itu, rambut kepang dengan ekor kuda runcing juga menjadi kata
kunci untuk tampil bergaya harajuku. Kendati gaya harajuku begitu
populer, namun dalam kehidupan sehari-hari wanita Jepang senang mengenakan
pakaian waniata dengan desain modern. Bahkan, sebagian dari mereka juga lebih
nyaman memakai pakaian olahraga.
Namun
sekali lagi, wanita Jepang menyukai busana olahraga dengan warna cerah. Mereka
percaya, busana cerah bisa mencuri perhatian banyak orang. Dan untuk membuat
mereka berkesan tinggi, maka sepatu model platform atau boot menjadi pilihan
aksesori terbaik. Selain pakaian wanita, wanita-wanita Jepang juga sangat
perhatian dengan dunia kecantikan. Tak heran mereka rela menghabiskan banyak
uang untuk mendapatkan produk-produk kecantikan terbaik. Eyeshadow menjadi salah
satu kosmetik paling populer bagi wanita Jepang, khususnya di kalangan remaja
Street
Fashion di Jepang Fashion selalu menarik untuk dijadikan topik pembicaraan,
karena fashion selalu bersifat dinamis merepresentasikan suatu zaman dan
masyarakat yang hidup di masa tersebut. Fashion juga bisa merepresentasikan
identitas seseorang; hal pertama yang dinilai oleh orang lain sebelum mengenal
kita lebih jauh, mau tak mau, adalah gaya penampilan kita. Fashion dapat kita
bedakan menjadi high fashion dan street fashion. High fashion pola
penyebarannya dari atas ke bawah, atau dari desainer fashion profesional ke
media lalu ke masyarakat; sedangkan street fashion justru kebalikannya, polanya
dari bawah ke atas; artinya yang memperkenalkan idenya adalah orang awam
(masyarakat), diangkat oleh media lalu disempurnakan idenya oleh desainer
fashion profesional. Beberapa negara lebih dikenal akan high fashionnya, sebut
saja Inggris, Perancis ataupun Itali. Ada juga yang dikenal akan high fashion
maupun street fashionnya seperti Amerika, namun di Jepang uniknya masyarakat
dunia justru lebih familiar dengan gaya street fashionnya ketimbang high
fashionnya, terutama gaya Harajuku atau Harajuku style. Hal ini bisa terjadi
karena ruang publik di Jepang sudah sangat baik dan dapat memberikan kenyamanan
bagi masyarakat khususnya anak muda untuk memanfaatkan ruang publik sebagai
wadah yang menampung kreatifitas mereka, jalanan pun dapat dijadikan sebagai
“catwalk” atau “panggung” eksplorasi hobi bersama komunitas masing-masing.
Ditambah lagi media yang menjamur dan berlomba-lomba untuk mengabadikan
kreatifitas dan keunikan gaya mereka, maka voila! Jadilah Tokyo sebagai
pusatnya street style, tidak hanya untuk Jepang, tapi juga untuk dunia. Surga
street style di Tokyo sebenarnya tidak hanya Harajuku, tapi Shibuya dan
Akihabara pun menawarkan keunikan gaya tersendiri.
Gaya
Harajuku, Shibuya, dan Akihabara Harajuku adalah nama sebuah area distrik di
Tokyo, lokasinya berada di antara Shibuya, Aoyama, dan Shinjuku. Sejak tahun
1960-an, Harajuku telah menjadi pusat fashion di Jepang. Area tersebut terkenal
akan banyaknya toko-toko yang menjual pakaian, tas, alat make-up dan aksesoris
dan toko-toko keren lainnya. Harajuku Style sangat beragam dan banyak gaya yang
berbeda secara ekstrim, mulai dari gaya inosen Lolita, gaya cool-casual Ura-Hara
Kei hingga penampilan dark-punk-androginy Visual Kei. Harajuku menjadi lebih
terkenal lagi di era 1980-an, hal ini dikarenakan maraknya aksi street
performance dan kostum yang menarik hasil imajinasi para anak muda Jepang yang
berkumpul bersama disana setiap hari minggu, saat jalanan dengan butik fashion
dan kafe-kafe papan atas di Omotesando ditutup dari lalu lintas kendaraan.
Salah satu ciri Harajuku style yang paling menonjol adalah merancang dan/atau
re-modifikasi pakaian sesuai karakter diri si pemakainya. Mereka bisa
memodifikasi pakaian lama dengan sesuatu yang unik sehingga menjadi gaya baru,
misalnya dengan menambahkan aksesoris atau mendekorasi pakaian sesuka imajinasi
dan kreatifitas mereka. Dari segi dandanan, jika dibandingkan dengan Shibuya, riasan
wajah anak muda di Harajuku biasanya lebih natural, kawaii (manis) dan tidak
berkesan seksi. Shibuya merupakan lokasi street style terkenal di Tokyo setelah
Harajuku. Jika Harajuku lebih didominasi oleh remaja berusia belasan tahun,
Shibuya lebih didominasi oleh wanita dan pria muda berusia 20-an. Kelompok
wanita muda yang eksis di Shibuya dengan evolusi gaya dan penampilannya disebut
Gals atau Gyaru sedangkan yang prianya disebut Gyaruo. Dari zaman ke zaman para
Gyaru berevolusi dengan gaya busana yang ekstrim berbeda. Di tahun 1990-an gaya
Gyaru yang fenomenal adalah Kogyaru yang inosen namun seksi dengan seragam
sekolahnya, namun di tahun 2000-an gaya Gyaru yang fenomenal justru gaya
slebornya Ganguro gals yang melabrak konsep cantik di masyarakat Jepang,
sedangkan untuk saat ini gaya Gyaru yang sedang trend adalah Onee Gyaru yang
terkesan dewasa dan mempesona dengan keglamorannya. Ciri khas gaya Shibuya yang
paling menonjol adalah riasan wajah dan tubuh mereka yang nyaris sempurna dari
ujung rambut hingga ujung kaki, mereka tak segan menggunakan wig, bulu mata
palsu, nail arts atau kuku palsu hias, dan alat kosmetik yang selalu lengkap di
dalam tas mereka.
Akihabara
telah lama dikenal sebagai daerah pusat elektronik berkelas dunia yang berada
di Tokyo, Jepang. Dari barang elektronik baru hingga bekas pakai dengan
kualitas yang masih baik, ada disini. Tak heran jika para pecinta anime dan
video game pun kerap berkumpul dan berburu koleksiannya disini. Budaya manga
tidak hanya menghadirkan budaya turunan anime dan video games saja, sejak tahun
1983 sebenarnya sudah terbentuk budaya turunan lainnya yang disebut dengan
Kosupure atau Cosplay---singkatan dari kata “Costume” dan “Role-play.” Cosplay
baru dikenal dunia internasional sebagai salah satu budaya populer Jepang
sekitar tahun 2000-an seiring perkembangan internet dan gambar digital. Cosplay
memang bukan nama sebuah fashion style, namun di dalam budaya tersebut ada
kombinasi antara unsur bermain peran (penjiwaan peran sebagai karakter dari
manga/anime/video games) dengan proses kreatifitas mendesain, menciptakan dan
mengenakan sebuah kostum yang dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai karakter
yang terdapat di dunia dua dimensi tersebut. Seiring bertambah banyaknya
komunitas Cosplayer maupun Otaku, Akihabara pun menjadi salah satu kawasan
street style yang unik dan memiliki ciri khas tersendiri yaitu berkarakter dan
memberikan kesan utopia baik itu dalam kostum Uniform-Cosplay (Uni-Cos),
Character Cosplay (Chara-Cos) maupun Cosplay Doller (Animegao). Tokyo Street
Fashion dan Cosplay di Indonesia Konsep “kawaii-fashion” yang diusung oleh gaya
street fashion Jepang pada umumnya, sudah mulai memberikan pengaruh yang cukup
kuat pada gaya berdandan dan berbusana anak muda di Indonesia. Terbukti dengan
makin menjamurnya beberapa toko aksesoris yang kawaii---seperti yang terdapat
di Harajuku dan Shibuya--- juga toko-toko kostum bergaya Jepang seperti yang
terdapat di Akihabara---yang kini dapat ditemui di kota-kota besar di Indonesia
seperti di Bandung dan Jakarta, bahkan di kota pinggiran Jakarta seperti Depok.
Komunitas pecinta street fashion Jepang dan juga Cosplay pun kini tidak hanya
ada di Jakarta, Bandung, atau Jogja. Di salah satu acara kreatifitas kampus di
daerah Sulawesi juga pernah terlihat booth Cosplayers meramaikan suasana. Saat
acara peluncuran buku HARA-SHIBU-BARA, Tokyo Street Fashion Paradise di toko
buku Gramedia Depok 12 Mei 2012 bersama Gramedia Publishers, Gramedia Depok dan
Japan Foundation, saya dibantu oleh teman-teman dari komunitas Makumuro yang
berasal dari Bogor. Enam orang dari mereka yaitu Yudha Aditya (Kaoren), Dimas
Denica (Hiroyuki), M.Agum (Sora), Serena Celline, Eka Priyanti (Igocha), dan
Vincentius Handry Winata, masing-masing menunjukkan penampilan kostum yang
menarik; Uni-cos, Chara-cos, juga gaya Visual Kei yang merepresentasikan gaya
di Harajuku dan Akihabara, sedangkan saya sendiri mengenakan dandanan a la Moru
(Mori Gyaru) yang merepresentasikan gaya Harajuku yang sudah diadopsi oleh
komunitas Gyaru di Shibuya. Anak-anak Makumuro tersebut melakukan performance
yang membuat para pengunjung merasakan sensasi utopia dunia fantasi Jepang yang
biasanya hanya mereka saksikan dalam dunia dua dimensi. Salah satu perwakilan
mereka yang juga seorang magician, yaitu Vincent, ikut bersama saya dan Ms.
Hashimoto Ayumi dari Japan Foundation di dalam talk show untuk berbagi
pengetahuan dan pengalaman kami mengenai budaya pop Jepang khususnya tentang
street fashion Jepang baik di Jepang maupun di Indonesia.
Di Indonesia,
gaya street fashion Jepang yang paling sering di tampilkan saat ada acara-acara
bertemakan budaya Jepang adalah gaya Lolita khususnya Gosurori, Visual Kei,
Decora, dan kostum Cosplay---baik Uni-cos maupun Chara-cos. Sejauh ini saya
belum pernah melihat ada Cosplay Doller di Indonesia. Sedangkan dalam
kesehariannya, anak muda Indonesia kebanyakan bergaya street fashion Jepang
yang cenderung kasual misalnya dengan memakai topi fedora, kaca mata berbingkai
tebal ataupun sunglasses, T-shirt dipadu dengan vest atau jaket, jeans dan
aksesoris yang sederhana namun tetap gaya seperti pashmina atau scarf berlogo
merk-merk terkenal (Gucci, Fendi, LV, dsb) mirip dengan gaya di Ura-Harajuku
atau Ura-Hara Kei. Ada juga remaja putri yang berani berpenampilan kawaii,
terlebih yang mengidolakan girlband Indonesia seperti Cherrybelle dan JKT48,
sehari-hari mereka bisa berdandan kasual yang manis dengan paduan rok pendek
mengembang atau celana pendek yang dipadukan dengan legging atau kaus kaki
panjang selutut, menggunakan baju berenda atau berpita dan menghias rambut
dengan bandana warna-warna pastel seperti ungu muda dan baby pink mirip
gaya-gaya Fairy Kei di Harajuku. Saat ditanya oleh pengunjung mengenai
perbedaan Cosplay di Jepang dan di Indonesia, Vincent sepakat dengan saya bahwa
Cosplay di Jepang dan di Indonesia hampir sama, namun tidak seperti di
kompetisi Cosplay di Jepang yang membatasi karakter cosplay (hanya boleh dari
manga/anime/games Jepang), di Indonesia kreatifitas Cosplayers lebih memiliki
ruang gerak yang luas dalam berimajinasi dan mengkreasikan karakter baru yang
orisinal, di dalam kompetisi Cosplay, kreasi ini dimasukkan ke dalam kategori
Original Characters. Vincent memberikan contoh karakter Wayangbliz Legends yang
dikreasikan oleh komunitas Skoater Akademi, karakter imajinasi tersebut
memadukan ciri khas wayang Indonesia dengan gaya robot ala Jepang; sedangkan
saya sendiri pernah bertemu cosplay tokusatsu dengan karakter Gatot-Gundam
(paduan robot Gundam dan wayang Gatot Kaca) di sebuah festival budaya Jepang di
salah satu mall di Depok, inilah yang membuat cosplay di Indonesia semakin
berwarna dan dapat menjadi wadah kreatifitas anak muda Indonesia.
Tidak semua
komunitas cosplayer merupakan komunitas yang berorientasi mengikuti berbagai
kompetisi, ada komunitas yang dibentuk hanya untuk bersenang-senang dengan hobi
yang sama yaitu berkreasi dan bereksplorasi dengan kostum bernuansa Jepang.
Menurut Adit, Makumuro ---berasal dari kata “Makmur Jaya” yang ‘diplesetkan’
menjadi ke-jepang-jepang-an---merupakan komunitas cosplayers/pecinta budaya pop
Jepang yang dibentuk untuk bergaul dan bersenang-senang. Mereka rata-rata sudah
familiar dengan budaya pop Jepang sejak masih SD lewat manga dan anime, lalu
mulai tertarik untuk terlibat aktif di acara-acara yang bertemakan Jepang saat
SMU, seperti Eka yang awal ketertarikannya bercosplay karena punya teman yang
kenalannya seorang cosplay costume-maker, atau Serena yang dikenalkan oleh
Vincent ke komunitas Makumuro, dan mengaku baru mencoba bercosplay saat di
acara peluncuran buku HARA-SHIBU-BARA, dan langsung merasa ketagihan. Vincent
sendiri tergabung juga di komunitas Cosplayer yang lebih “serius” mengikuti
kejuaraan-kejuaraan Cosplay bernama Machipot Indonesia. Gaya Gyaru Shibuya
masih sulit ditemukan di Indonesia, namun beberapa artis di Indonesia ada yang
gayanya menyerupai gaya gyaru terkini yang berkesan glamour, manis dan seksi,
misalnya Pinkan Mambo dandanannya mirip gaya Agejo yang seksi dengan rambut
panjang berwarna pirang, atau Syahrini yang selalu bermake-up sempurna dengan
bulu mata palsu, rambut ikal panjang, dan aksesoris yang “blink-blink” mirip
gaya Onee-gyaru di Shibuya. Jika ingin tahu banyak tentang perbedaan dan
macam-macam gaya Tokyo Street Fashio di Harajuku, Shibuya maupun Akihabara,
silahkan temukan sendiri di buku HARA-SHIBU-BARA Tokyo Street Fashion Paradise
karya Hesti Nurhayati, terbitan Grasindo, 2012, dan silahkan juga mengunjungi:
HaraShibuBara, Tokyo Street Fashion Paradise. Selamat menemukan surganya street
fashion style.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar